Senin, 25 Agustus 2008

Distraksi

Prolog

Distraksi

Oleh Luqman Hakim Arifin

Ada tiga pertanyaan abadi dalam hidup ini: Siapa diri kita? Dari mana asal kita? Dan ke mana tujuan akhir dari hidup kita?

Sejak zaman Yunani Kuno ketika Socrates berkata, “Ketahuilah dirimu”, sampai zaman kini, pertanyaan mengenai jati diri manusia tetap menjadi persoalan yang tidak mudah dijawab. Apalagi ketika kita terjebak kebosanan akan rutinitas hidup, dan tiba-tiba kekosongan menyergap diri kita…

Akan muncul pertanyaan: Benarkah hanya ini hidup yang kita miliki? Benarkah seperti ini hidup yang kita inginkan? Mau apa sih aku ini? Mau ke mana pada akhirnya?

JK. Rowling, penulis buku bestseller Harry Potter, pernah mengalami kemelut jati diri semacam itu. Lahir 31 Juli 1965 di Inggris, sejak usia muda Rowling sudah punya visi menjadi penulis. Tapi karena beberapa “kekeliruan” yang dia buat, beberapa kali pula ia mengalami “distraksi” atas visi hidupnya.

Rowling misalnya, pernah bekerja sebagai sekretaris sebuah perusahaan, asisten riset Amnesti International di Afrika, staf di Kamar Dagang Manchester, hingga akhirnya menjadi guru Bahasa Inggris di Portugal. Namun begitu, keinginannya untuk menulis buku tetap “dirawatnya”.

Ketika teman-temannya pada pergi ke pub, ia malah sibuk mencari alasan untuk pergi ke kafe, dan menulis! Sampai pada suatu hari, ketika ia kepentok dengan profesi gurunya, Rowling baru benar-benar menyadari bahwa ia harus segera menyelesaikan buku pertamanya sebagai visi hidupnya sejak dulu.

Maka ia pun menyelesaikan “visi” yang ditunda-tundanya itu. Tidak gampang memang, bahkan ketika novelnya sudah selesai sekalipun. Selama hampir setahun, tak ada satu pun penerbit yang tertarik dengan novel magic itu. Tapi mungkin sekarang para penerbit yang menolak itu menyesal. Karena buku Harry Potter karangan Rowling ternyata laris manis, dicetak lebih dari 250 juta eksemplar dan difilmkan lagi.

Belajar dari perjalanan hidup JK. Rowling, sebenarnya hampir tak jauh berbeda dengan kebanyakan kita. Punya ijazah, tapi nggak pernah dipakai. Punya pekerjaan, tapi nggak sesuai dengan minat dan bakat sebenarnya. Sudah untung, masih nyambung. Yang lebih banyak terjadi, justru sama sekali tidak nyambung antara pekerjaan dengan latar pendidikan.

“Hati” Anda mungkin berdalih, “Ini sudah nasib saya. Takdir saya!” Tapi otak Anda mungkin protes, “Ini bukan yang saya inginkan! Tapi bagaimana lagi!?” Kenyataan lalu dijadikan kambing hitam. Di sinilah mungkin persamaan kita dengan Rowling: mengalami distraksi hidup, dan ini situasi yang wajar selama kita bisa keluar dari jebakannya.

Lalu apa yang membedakan Rowling dengan kebanyakan kita, jawabannya ada tiga: Pertama, Rowling mempunyai visi dan selalu memperjelas visinya. Ia memang pernah nyasar ke mana-mana, tapi ia selalu merawat visinya. Kata “selalu” ini penting karena mengandung upaya tiada henti untuk mengingat dan memperjelas visinya (potret dirinya) ke depan.

Kedua, Rowling selalu menghadirkan aksi. Ia tidak hanya “ingin” dan punya visi, tapi juga melakukan sesuatu untuk mewujudkan visinya. Aktivitas menulis yang selalu ia lakukan di sela-sela kesibukan kerjanya adalah contoh nyata bagaimana ia tetap merawat visinya. Kata orang Jepang, visi tanpa aksi ibarat mimpi di siang bolong. Siapa pun orang bisa bermimpi. Wong, gratis kok. Hanya masalahnya, ia benar-benar berusaha atau tidak? Itulah yang membedakannya dengan orang lain. Adalah “mukjizat” jika seseorang bisa mencapai sesuatu tanpa usaha.

Ketiga, selalu siap menghadapi pukulan mendadak. Visi dan aksi saja belum cukup untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Yang tak kalah penting adalah kemampuan menghadapi pukulan di tengah upaya kita mewujudkan visi. Tidak hanya tahan banting, tapi juga tidak mudah menyerah! Rowling termasuk kelompok ini. Ketika visinya diguncang , tidak jelas, dan “gagal”, Rowling tetap bertahan sampai bisa kembali ke track-nya.

Kegigihan, keteguhan dan kerja keras Rowling dalam mewujudkan visinya merupakan pelajaran sekaligus contoh yang paling berharga. Adalah seyogianya harus terus belajar dan mengetahui siapa diri kita dan kemudian fokus serta berusaha hidup dengan keputusan itu.

Sisanya, seperti pernah disampaikan Thomas Alva Edison, penemu kelas dunia, percayakan 99 % kepada kerja keras dan 1 % kegeniusan Anda. “Tidak ada yang menggantikan kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan,” tandas Edison.***

Tidak ada komentar: